Melawan Berita Bohong di Era Digitalisasi



Kabar bohong dan informasi yang menyesatkan itu perlu dilawan secara sistematis
Apakah pada 21 Oktober 2015 lalu Anda termasuk orang yang menguapkan seember air garam di rumah demi mengundang hujan untuk mengatasi kabut asap di Sumatera? Jika benar, Anda termasuk salah satu korban kabar bohong dan informasi menyesatkan.

Tahun lalu informasi tentang teknik mengundang hujan untuk membantu masalah kabut asap di Sumatera itu menyebar lewat media sosial. Dari satu aku ke akun lain. Dari satu grup ke grup lain--dengan imbuhan "copas dari grup sebelah".

Meski informasi tersebut menyebut nama BMKG sebagai pihak yang memberi saran, ternyata Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tidak bersangkutpaut dengan informasi itu.

Bahkan, seperti dikutip Detik.com, Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi BMKG, Hary Tirto Djatmiko saat itu menegaskan isi pesan berantai tersebut salah alias hoax: kebohongan yang disajikan sedemikian meyakinkan agar dipercaya orang.

Sejak kita semakin intim dengan Internet, kabar bohong dan informasi yang menyesatkan semakin sering mendatangi kita--bahkan tanpa kita minta. Kita bisa mendapatkannya dari orang yang kita kenal lewat aplikasi messaging.

Kita juga bisa terpapar lewat suapan informasi dari orang atau grup yang kita ikuti di Facebook, Twitter, atau YouTube. Belakangan sejumlah media mengungkap keberadaan situs web yang memang dengan sengaja menyediakan kabar bohong.

Internet memang punya dua sisi yang bisa jadi saling bertentangan. Di satu sisi, internet memungkinkan kita untuk mengeksplorasi dan bertukar pengetahuan. Di sisi lain, internet hanyalah saluran informasi, yang juga memungkinkan para pembohong dan penyesat untuk menggiring orang ke arah kedunguan.

Barangkali ada yang menganggap remeh informasi ngawur soal seember air garam yang bisa mengundang hujan tadi. Informasi itu mungkin dianggap hanya akan mengundang tawa bagi sebagian orang. Atau, separahnya, mungkin hanya dianggap sebagai gurauan yang menghina kecerdasan.

Lalu bagaimana dengan kabar bohong yang belakangan membanjiri masyarakat kita lewat pergaulannya di media sosial?

Kabar bohong yang gencar sekali belakangan ini tidak terasa ditujukan untuk mengolok-olok kecerdasan kita. Lebih dari itu, dengan mudah kita mencium bau propaganda dan provokasi politik di dalamnya. Bahkan tidak jarang kabar bohong dan informasi menyesatkan itu dibumbui ujaran kebencian.

Menertawakan kabar dan informasi jenis ini, jelas, bukanlah pada tempatnya.

Kabar seperti itu biasanya berisi informasi fiktif, peristiwa yang tidak pernah terjadi, atau hal yang tidak pernah ada. Ada juga kabar yang menyampaikan peristiwa yang sungguh terjadi namun disajikan di luar konteks, atau dicampuradukkan dengan rekaan-rekaan.

Salah satu contohnya adalah kabar tentang serbuan 10 juta buruh Tiongkok ke Indonesia yang belakangan tersebar lagi. Kabar itu menyandarkan informasinya kepada berita target kunjungan wisatawan Tiongkok ke Indonesia sebanyak 10 juta orang, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo saat kunjungan kenegaraan ke Presiden Xi Jinping di Beijing pada 2015.

Informasi kunjungan 10 juta orang (wisatawan) dari Tiongkok itu lalu digunakan di luar konteksnya; dikaitkan dengan penangkapan beberapa pekerja ilegal asal Tiongkok. Jadilah kemudian sebuah berita menyesatkan tentang serbuan 10 juta buruh Tiongkok ke Indonesia.

Bahwa kasus tenaga kerja ilegal yang memanfaatkan visa wisatawan memang ada, tapi rasanya tak sedramatis yang disebarkan. Namun para pembuat kabar bohong dan informasi menyesatkan tampak sangat menguasai bidangnya.

Untuk meyakinkan targetnya, para pembohong dan penyesat itu terbiasa mencatut nama lembaga resmi, jenis profesi, jabatan berpengaruh, atau nama orang yang terkenal. Agar tampak lebih profesional, mereka meniru gaya penyajian para jurnalis.

Bahkan belakangan kita jumpai kabar bohong yang memberikan sentuhan sentimen primordial--terutama terkait dengan SARA. Para pembohong dan penyesat ini juga sangat memahami bahwa banyak orang lebih memercayai kabar-kabar yang dapat mengonfirmasikan keyakinan politiknya, tanpa memedulikan kebenaran kabar tersebut.

Mereka pun sangat paham bahwa kalangan awam dalam masyarakat kita secara serampangan masih suka menyebarkan kembali kabar yang diterima dari satu saluran ke saluran lain di jaringan sosialnya. Jadilah kabar bohong itu menyebar lebih luas lagi.

Sejumlah investigasi jurnalistik memperlihatkan bahwa salah satu motif penyebaran kabar bohong dan informasi menyesatkan itu adalah keuntungan ekonomi. Berkat kunjungan para pengakses yang sangat banyak, situs-situs web yang dengan sengaja menyediakan kabar bohong itu memerolah banyak uang dari iklan.

Namun sangatlah naif jika kita mempercayai bahwa satu-satunya motif mereka adalah soal uang. Terlebih, belakangan kita menyaksikan gencarnya penyebaran kabar bohong dan informasi menyesatkan yang lebih berbau propaganda dan provokasi politik--bahkan beberapa diwarnai ujaran kebencian.

Dalam kaitan itu, motif politik sangat kentara. Sebagian terkait dengan kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah, sebagian yang lain lebih terkait dengan pandangan dan tujuan politik kelompoknya.

Penyebaran kabar dan informasi semacam itu kian gencar akhir-akhir ini. Kita seolah hidup di tengah masyarakat yang menghalalkan kebohongan untuk memengaruhi orang lain. Atau, tak sadar sedang ikut-ikutan menyebarkan kabar bohong.

Itu sebabnya kecenderungan penyebaran kabar bohong harus direspons serius. Terutama yang bertendensi sebagai alat propaganda dan provokasi politik, kabar-kabar bohong itu mengancam kohesivitas kita sebagai masyarakat yang majemuk, dan bahkan mengobarkan keresahan.

Karena penyebaran kabar bohong tersebut cenderung sistematis, sudah seharusnya responsnya pun harus bersifat sistematis. Perlawanan terhadap penyebaran kabar bohong dan informasi menyesatkan itu sebaiknya menyangkut kepada tiga hal.

Pertama, penegakan hukum. Meski perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan ekses, kita sudah mempunyai rujukan hukum untuk merespons kabar bohong dan ujaran kebencian; yaitu Undang-undang ITE maupun KUHP.

Kedua, pemerintah perlu menyediakan media resmi yang bisa dijadikan rujukan oleh warga negara untuk memverifikasi kabar dan informasi yang tendensius. Saat ini, seluruh kementerian dan lembaga negara memang mempunyai situs web.

Namun harus diakui, kita tak bisa berharap banyak kepada situs web kementerian dan lembaga negara yang terlalu banyak menyediakan berita seremoni. Masyarakat membutuhkan media resmi yang bisa menjadi jujugan untuk mengklarifikasi berbagai informasi dan isu.

Ketiga, perlu menumbuhkan literasi media di tengah masyarakat. Sejumlah kelompok saat ini sudah bergiat untuk mengembangkan literasi media. Itu belum cukup. Kegiatan sejenis perlu lebih dioptimalkan dan sengaja mengarah ke kelompok masyarakat menengah- bawah yang masih gamang dengan cyber culture.

Hidup di tengah serbuan kabar bohong dan informasi yang menyesatkan bisa membuat kita meyakini segala macam dusta. Dengan begitu, kita terancam memilih jalan yang salah ketika membuat keputusan-keputusan penting dalam berbangsa dan bernegara.

Siapa yang sudi hidup nista seperti itu?

Sumber: beritagar
Share:

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkomentar :D